Thursday, October 28, 2010

Memberikan Tempat Duduk dalam Satu Majelis

Anda diundang ke walimahan atau sedang takziyah. Tatkala anda masuk ke ruangan yang disediakan dan anda menjumpai bahwa ruangan itu sudah penuh, tentunya anda akan malu, bingung, serta salah tingkah.

Jika pada saat itu ada di antara hadirin yang berada dalam ruangan tersebut yang bangkit dan mempersilakan anda untuk duduk di tempatnya, tentunya anda akan merasa lega, dan kebaikan orang tersebut tidak akan terlupakan.

Seringkali ada orang yang masuk masjid —terutama pada waktu shalat Jum'at— dan mencari tempat kosong di antara jamaah yang sedang duduk. Semua mata memandangnya dengan keheranan dan perasaan tidak setuju, hingga akhirnya ada orang yang menaruh belas kasihan kepadanya yaitu orang yang memahami firman Allah swt.,

"
Wahai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepada kalian, 'Berlapanglapanglah dalam majelis,' maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untuk kalian. Dan apabila dikatakan kepada kalian, 'Berdirilah kalian', maka berdinlah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan." (Al-Mujadilah: 11)

Saya masih bisa merasakan apa yang dialami oleh Ka'ab ra. tatkala ia mendapatkan sanksi karena tidak ikut dalam perang Tabuk. Ka'ab bercerita, "Setelah genap lima puluh hari sejak larangan nabi kepada para sahabat untuk berbicara kepada saya, pada hari kelima puluh — ketika saya sedang shalat shubuh di bagian belakang rumah, tempat saya mendirikan sebuah kemah di belakang rumah di tempat yang agak tinggi, saat itu saya merenungkan nasib diri yang benar-benar menyesakkan dada, sebagaimana disebut oleh Allah dalam Al-Qur'an, bumi ini sudah terasa sempit bagi kami — tiba-tiba saya mendengar teriakan yang sangat keras, 'Hai Ka'ab, ber-gembiralah.' Maka saya segera sujud syukur sebab saya merasa bahwa Rasulullah telah mengatakan pada para sahabat bahwa Allah telah menerima taubat kami pada shubuh ini. Sehingga orang-orang berdatangan untuk mengucapkan selamat. Seorang sahabat yang mengendarai kuda menuju ke arah saya sambil berteriak hingga suara teriakan itu lebih cepat dan pada langkah kaki kudanya. Tatkala orang itu sampai di hadapan saya, saya buka dua pakaian saya dan saya hadiahkan padanya, padahal waktu itu saya tidak mempunyai pakaian lain, sehingga saya meminjam pakaian untuk saya pakai menghadap Rasulullah. Saya berjalan menuju ke tempat Rasulullah. Di tengah jalan banyak orang yang menyambut saya dengan mengucapkan selamat atas penerimaan taubat kami, sehingga sampailah saya di masjid tempat Rasulullah sedang duduk dikerumuni oleh para sahabat. Pada saat itu seorang sahabat yang bernama Thalhah bin Ubaidillah ra. bangkit dari duduknya lalu menyam-but saya dan mengucapkan selamat. Demi Allah swt., tiada seorang pun dari kaum Muhajirin yang bangkit dari tempat duduknya selain Thalhah, sehingga saya tidak dapat melupakan sikap Thalhah
itu." Begitulah, dengan sikap itu Thalhah ra. menjadi orang yang menempati sudut hati Ka'ab bin Malik ra.

Dalam kesempatan lain Rasulullah saw. juga mem-berikan pelajaran pada kita, yaitu tatkala beliau masuk kota Makkah dan memasuki Masjidil Haram. Saat itu Abu Bakar ra. datang dengan membimbing bapaknya, Abu Quhafah. Melihat hal itu Rasulullah bersabda, "Kenapa tidak kau biarkan bapak ini berada di rumahnya dan saya yang datang ke rumahnya?" Abu Bakar ra. berkata, "Ya Rasul, beliaulah yang harus mendatangi-mu." Rasulullah mempersilakan Abu Quhafah duduk di sebelahnya, kemudian Rasulullah mengusap dada orang tua itu seraya
berkata, "Masuklah Islam." Sejak saat itu bapak tua itu pun menjadi seorang muslim. Rasulullah juga telah bersabda,

"
Tidaklah seorang muslim masuk rumah saudaranya sesama muslim lalu tuan rumah memberikan bantal kepadanya sebagai penghormatan, melainkan Allah swt. mengampuni semua dosanya." (HR. Hakim)

Dari Ibnu Umar ra. ia berkata, Rasulullah saw. bersabda, "
janganlah kamu menyuruh orang lain berdiri dari tempat duduknya, kemudian kamu duduk di tempat itu, tetapi hendaklah kamu saling melapangkan." (Muttafaqun 'Alaih)

Ibnu Umar sendiri jika ada orang yang berdiri dari tempat duduknya dan mempersilakannya untuk duduk di tempat itu, ia tidak duduk di tempat tersebut.

Wednesday, October 27, 2010

Lebih Dahulu Mengucap Salam

Jika Anda ingin berkenalan dengan seseorang, hendaklah Anda memulai dengan mengucap salam karena sikap itu mempunyai daya tarik tersendiri bagi orang tersebut, selain itu juga mendapat pahala yang besar di sisi Allah.

Apabila Anda sudah berkenalan dengan seseorang dan beberapa hari kemudian Anda berpapasan dengan orang tersebut hendaklah Anda mendahului menyapa dan mengucapkan salam agar pertemuan yang pertama tidak hilang dengan sia-sia.

Hal ini karena pertemuan kedua merupakan penopang bagi pertemuan pertama.

"Sebaik-baik kamu adalah yang lebih dahulu mengucapkan salam."



Memanggilnya dengan Panggilan yang Paling Disukai

Pada zaman ini banyak orang menggunakan nama-nama aneh yang hanya asal ucap saja. Lebih aneh lagi banyak orang merasa bangga jika menyandang nama-nama itu, sehinggga jika ada orang yang memanggilnya dengan menggunakan nama aslinya maka ia akan marah.

Tatkala kita sudah menjadi umat Muhammad saw., kita mempunyai kewajiban agar memanggil orang lain dengan panggilan yang ia sukai, karena hal itu dapat mempererat hubungan kita dengan orang tersebut.

Ada sebagian ikhwah yang memanggil orang yang lebih tua dan lebih tinggi (pangkatnya) darinya dengan menggunakan nama saja tanpa ada embel-embel-nya.. la menganggap bahwa sikap itu adalah bentuk penerapan dari makna ukhuwah Islamiah. Maka kita jumpai ada seorang mahasiswa yang memanggil dosennya dengan "akh", ada juga di antara ikhwah yang tatkala mempersilakan penceramah hanya dengan menggunakan nama-nya saja dengan anggapan bahwa sikap itu lebih menjauhkan dari sikap riya'. Padahal embel-embel itu adalah wajar dan merupakan haknya, bukan buatannya sendin. Lalu bagaimana orang-orang dapat mengenal penceramah tersebut dengan betul, jika nama yang dimiliki oleh penceramah juga dimiliki oleh banyak orang? Di manakah pula kita meletakkan sabda Rasul, "Tempatkanlah orang lain pada posisi mereka?"

Di beberapa tempat ada yang memanggil dengan menggunakan kunyah, seperti: wahai, Abu Muhammad! atau wahai, Abu Hasan! Barangkali ini lebih halus didengar dan lebih dapat diterima oleh hati.

Sebarkan Salam di Antaramu

Salam adalah salah satu dari asma Allah swt. Mengucapkan salam, baik kepada orang yang anda kenal maupun yang tidak Anda kenal akan membangkitkan rasa aman, mempererat ikatan, dan menumbuhkan rasa cinta. Rasulullah sendiri telah berwasiat tentang itu. Dari Abu Hurairah ra., ia berkata bahwa Rasul bersabda,

"
Kamu tidak akan masuk surga hingga kamu beriman, dan kamu tidak beriman hingga kamu saling mencintai (karena Allah). Apakah kamu maujika aku tunjukkanpada satu perkara jika kamu kerjakan perkara itu maka kamu akan saling mencintai? Sebarkanlah salam di antara kamu!" (HR. Muslim)

Dengan begitu, Rasulullah saw. telah meletakkan ta-ngan kita pada satu kunci yang amat penting. Mengucap atau menjawab salam akan dapat memberikan gambaran seberapa jauh orang itu iltizam dengan ajaran Islam.

Ada perbedaan yang amat besar antara orang yang mengucapkan "Salam" lalu dijawab dengan "Salam" dengan orang yang mengucapkan "Assalamu'alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh" lalu dijawab dengan "Wa'alaikumus-salam wa rahmatullahi wa barakatuh". Ada beberapa orang yang tatkala Anda mengucapkan "Assalamu 'alaikum", mereka menjawab dengan "Selamat Pagi" atau "Selamat Datang", atau dengan jawaban-jawaban yang lain.

Dengan mengucap dan menjawab salam, Anda dapat mengenal orang lain dan mengetahui tingkat konsistensi mereka terhadap ajaran agama. Sebagian orang ada yang mengucapkan salam sebagaimana seorang komandan militer memerintah anak buahnya, padahal mengucapkan salam merupakan ucapan selamat yang tersusun dari untaian kata-kata yang sangat indah, yakni "
as-salam" (kesejahteraan), "arrahmah" (rahmat), dan "al-barakah" (berkah). Ucapan salam hendaknya keluar dari lubuk hati yang paling dalam dan dikeluarkan dengan disertai perasaan kasih sayang, karena tujuan dari sebuah perkenalan adalah pernyataan hati.

Dari Abu Dzar ra., la berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, "
Janganlah sekah-kali kamu meremehkan kebaikan, meskipun hanya berupa keceriaan wajah tatkala bertemu dengan saudaramu." (HR. Muslim)

Menjawab salam hukumnya wajib. Kita akan dapat membuat orang yang mengucap salam itu bersimpati kepada kita, yaitu tatkala dengan sikap tanggap kita menjawab ucapan salam tersebut dengan ucapan salam yang lebih baik dan dengan tatapan wajah yang dihiasi dengan senyuman. Allah swt. berfirman,

"
Apabila kalian diberi penghormatan dengan suatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik daripadanya atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah selalu membuat perhitungan atas tiap-tiap sesuatu." (An-Nisa': 86)

Mengucapkan salam tidak terbatas pada orang yang kita kenal saja, tetapi lebih dianjurkan kepada orang yang belum kita kenal agar lebih memperluas perkenalan dan ukhuwah Islamiah.

Dari Abdullah bin Mas'ud ra. bahwa ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah saw., "Di antara ajaran Islam manakah yang paling baik?" Rasulullah saw. menjawab, "Memberi makan dan mengucap salam kepada orang yang kamu kenal dan yang tidak kamu kenal." (Muttafaqun 'Alaih)

Para sahabat ra. adalah generasi yang paling paham terhadap nilai dan maksud ajaran ini. Dengan metode itulah generasi ini dapat merangkul banyak orang.

Dari Thufail bin Abu Ka'ab ra. bahwa ia datang menemui Abdullah bin Umar ra., lalu keduanya pergi ke pasar. Thufail menceritakan, "Tidaklah Ibnu Umar melewati orang di tengah jalan atau menjual barang da-gangan atau orangorang yang lain, kecuali la mengucap salam kepada mereka. Pada hari yang lain saya datang ke tempat Abdullah bin Umar, kemudian ia mengajakku ke pasar. Saya menjawab, 'Apa yang akan anda perbuat di pasar? Anda tidak membeli, tidak bertanya tentang harga barang, tidak menawar, dan tidak duduk di tempat-tempat duduk (yang ada di pasar)? Lebih baik kita duduk-duduk di sini dan bercakap-cakap.'
Abdullah bin Umar menjawab, 'Wahai Abu Bathan (panggilan bagi Thufail ra.), kita berjalan demi mengucapkan salam pada setiap orang yang kita jumpai.'" (HR. Malik dan Al-Muwatha' dengan sanad yang shahih)

Mengucap salam di suatu tempat yang asing bagi kita, pada saat kita sangat membutuhkan seorang teman, akan memberikan perasaan aman bagi kita dan membuat orang yang berhadapan dengan kita merasa simpati. Ada pepatah kuno mengatakan, "Seandainya bukan karena salam yang kau ucapkan sebelum kau berbicara, niscaya aku telah memakan dagingmu sebelum memakan tulangmu."

Dari Abu Hurairah ra., sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda, "
Yang mengendarai kendaraan hendaklah mengucapkan salam kepada yang berjalan kaki, yang berjalan kaki hendaklah mengucapkan salam kepada yang duduk, yang sedikit mengucapkan salam kepada yang banyak, dan yang muda mengucapkan salam kepada yang tua. Keutamaan orang yang lebih dahulu mengucapkan salam adalah sangat besar."

Dari Umamah ra., la berkata bahwa ada seorang yang bertanya kepada Rasulullah saw., "Ya Rasul, di antara dua orang yang bertemu, manakah yang lebih dahulu mengucapkan salam?" Rasul menjawab, "Yang lebih mencintai Allah swt."

Dari Abdullah bin Mas'ud ra., ia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, "'
As-salam' adalah salah satu dari asma Allah yang diletakkan di bumi, maka sebarkan salam di antara kamu." (HR. Bukhari)

Di antara taujih Khalifah Umar bin Khathab ra. adalah, "Tiga hal yang dapat membuat kecintaan saudaramu terhadapmu menjadi tulus (hanya karena Allah) ialah, lebih dahulu mengucapkan salam, memanggilnya dengan panggilan yang ia sukai, dan memberikan tempat duduk dalam satu majelis."

"Menjadi tulus" adalah sebuah ucapan indah yang dapat membersihkan rasa cinta dari tujuan duniawi.

Monday, October 25, 2010

Pandangan Kasih Sayang

Rasulullah saw. bersabda, "Barangsiapa memandang saudaranya dengan kasih sayang niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosanya."

Apakah pandangan yang dimaksud oleh hadits di atas adalah pandangan sekilas atau pandangan yang dipenuhi keteduhan dan kasih sayang?

Yang dimaksud oleh hadits itu adalah pandangan yang ditujukan pada hati dan mengajaknya berbicara dengan lemah lembut. Ibarat kamera, hanya dengan satu kilatan dapat menangkap gambar yang sangat indah. Itu semua tidak akan terwujud kecuali dengan pandangan yang tulus dan suci, pandangan yang penuh kasih sayang dan penuh rasa cmta karena Allah.

Mata adalah sarana terpenting bagi seorang da'i dan merupakan wasilah yang dampaknya sangat besar bagi mad'u. Karena ketika seorang da'i memandang saudaranya sesama muslim dengan penuh kasih sayang, seakan-akan ia telah memberikan hartanya yang paling berharga.

Jika pandangan seseorang yang dipenuhi oleh rasa dengki saja dapat menghancurkan, maka pandangan yang penuh cinta dan kasih sayang juga dapat berpengaruh dalam mengantarkan kepada kebenaran yang akhirnya dapat mempererat barisan dan memperkuat bangunan. Ini merupakan kekuatan terpendam yang dimiliki oleh manusia.

Apa yang Anda sembunyikan dalam hati akan tersingkap dengan tatapan mata. Seorang muslim adalah cermin bagi saudaranya. Allah swt. berfirman,

"Allah mengeluarkan kalian dari perut ibu kalian dalam keadaan tidak mengetahui suatu apa pun dan Dia memberi kalian pendengaran, penglihatan, dan hati, agar kalian bersyukur." (An-Nahl: 78)

Suatu ketika saya diundang untuk memberikan ceramah di perkemahan musim panas di salah satu negara Arab. Saya sudah banyak mengenal pemuda yang ikut dalam perkemahan itu. Tatkala kami datang ke tempat itu pada waktu yang telah ditentukan, ternyata tidak seorang pun menyambut kedatangan kami. Beberapa saat kemudian ada beberapa pemuda yang berjalan dengan hati-hati dan malu-malu menuju ke arah kami, dan itulah yang menyebabkan mereka mendapatkan sanksi dari ketua regu. Suasana pun menjadi sangat kaku dan itu berlangsung agak lama. Shalat berjamaah dan santap makan pun berlangsung dalam suasana yang masih kaku. Kemudian saya dipersilakan memberikan taushiah (nasihat). Pembicaraan saya sama sekali tidak menyinggung kejadian yang baru saja terjadi, yang belum pernah saya jumpai sebelumnya. Setelah acara selesai saya pun pulang.

Tetapi saya khawatir kaku kejadian seperti ini tidak diluruskan, pemuda-pemuda tadi akan tersibghah (terpola) dengan perilaku yang bertentangan dengan ruh dakwah dan ukhuwah Islamiah. Oleh karenanya, saya sempatkan untuk bertemu dengan mereka.

Dalam pertemuan itu saya mengatakan, "Sesungguhnya apa yang saya alami pada pertemuan pertama di perkemahan itu membuat saya sedih. Jika peraturan perkemahan seperti itu (yakni: tidak boleh menyambut tamu), maka itu sangat keterlaluan. Peraturan milker saja tidak melalaikan etika memuliakan tamu yang harus disambut dengan hangat, lebih-lebih jika tamu itu adalah tamu undangan. Apalagi ini adalah perkemahan lslami. Rasulullah saw. bersabda,

"Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia menghormati tamunya." (HR. Muslim)

Sebetulnya, apa yang saya alami waktu itu bisa saya jadikan sebagai tema pembicaraan, dengan menunjukkan letak kesalahan sikap itu. Akan tetapi, manhaj dakwah mengajarkan agar saya tidak marah hanya karena perasaan pribadi. Oleh karenanya, saya tekan gejolak perasaan saya demi menghormati penanggung jawab perkemahan itu. Meskipun pada waktu itu saya bisa membahasnya secara singkat dan dengan sindiran saja, tetapi saya lebih mengutamakan ketaatan dan berjalan sesuai dengan peraturan perkemahan.

Kaidah kita dalam memberikan nasihat itu adalah: 'Hendaklah nasihatmu terhadap saudaramu kamu lakukan dengan sindiran, bukan terang-terangan, dan untuk membimbing kepada kebenaran bukan untuk menyakiti'.

Saudaraku sekalian, sesungguhnya orang seperti saya ini dapat datang ke tempat ini dengan melewati perjalanan panjang dan melelahkan, serta menempuh jalan ribuan mil. Saya datang kepada kalian dengan perasaan rindu dan kasih sayang tanpa ada tujuan duniawi dan tujuan pribadi. Saya datang untuk melihat wajah-wajah kalian dan itulah nikmat yang sangat besar yang dapat menghilangkan rasa penat dan lelah setelah menempuh perjalanan panjang. Pandangan inilah yang sermg terukir dengan untaian kata yang amat indah,

Barangsiapa memandang saudaranya dengan pandangan penuh kasih sayang, maka Allah swt. akan mengampuni dosa-dosanya.' Allah swt. berfirman,

"Bersabarlah kalian bersama-sama dengan orang yang menyeru Rabb-nya dipagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya, janganlah kedua mata kalian berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini danjanganlah kalian mengikuti orang yang hati-nya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melampaui batas." (Al-Kahfi: 28)

Apakah setelah semua ini kalian mengharamkan pandangan itu dan menghalangi datangnya maghfirah (ampunan) Allah swt.?

Tidakkah kalian mengetahui dari perjalanan hidup Rasulullah saw., betapa berharganya nilai sebuah pandangan. Marilah kita lihat bagaimana kisah Ka'ab bin Malik ra., seorang sahabat yang masuk dalam deretan sahabat-sahabat yang tidak ikut dalam perang Tabuk. Allah swt. menurunkan sanksi kepada ketiga orang itu, di antaranya adalah Ka'ab bin Malik, yaitu agar seluruh kaum mushmin tidak berhubungan dengan mereka.

Ka'ab berkata, 'Kaum muslimin telah mengucilkan kami selama lima puluh hari hingga bumi mi terasa sempit, dan rasanya tidak ada tempat kembali kecuali Allah swt. Sayalah yang paling tegar di antara ketiga orang tersebut. Saya masih tetap ikut shalat berjamaah di masjid dan masih tetap pergi ke pasar walau tidak seorang pun mengajak saya bicara.

Saya datang kepada Rasulullah yang waktu itu sedang duduk di masjid setelah mengerjakan shalat. Saya mengucapkan salam saya. Lalu saya duduk di sebelahnya sambil sesekali melirik kepada beliau. Tatkala saya menatapnya, beliau memalingkan wajahnya.' Saudaraku sekalian ...

Sangsi itu datangnya dari Allah swt. Meski demikian Rasulullah saw. yang diutus sebagai rahmat bagi sekalian alam masih tetap memandang kepada Ka'ab ra., begitu juga dengan Ka'ab yang masih berusaha untuk mencuri pandang. Sanksi itu adalah untuk pengajaran dan pendidikan, bukan untuk balas dendam. Jika kita kehilangan pandangan yang penuh kasih sayang, maka kita telah kehilangan rahmat kehidupan.

Dalam petikan sirah nabawiyah juga dipaparkan betapa Rasulullah senantiasa menghiasi kehidupan dengan nuansa keindahan.

Kaum muslimin yang waktu itu sedang mengerjakan shalat merasa gembira tatkala melihat Rasulullah saw. membuka tirai dan memandang dengan tersenyum kepada mereka. Padahal waktu itu (di hari-hari akhir hayatnya) Rasulullah saw. sedang sakit, sehingga mereka mengira bahwa Rasulullah telah sembuh dari sakitnya. Mereka tidak menyangka bahwa itu adalah pandangan perpisahan."

Setelah pembicaraan tentang pentingnya pandangan itu selesai, banyak di antara ikhwah yang mengucurkan air mata. Beberapa han kemudian banyak ikhwah yang berkirim surat mengungkapkan kebenaran apa yang telah saya sampaikan.

Pada tahun 1943 M. saya terpilih sebagai Ketua Ikhwanul Muslimin di Ra'suttin, Iskandaria. Peraturan yang berlaku berkaitan dengan kebersihan adalah dalam setiap harinya ada seorang anggota Ikhwan yang dibe-bani untuk membersihkan balai pertemuan.

Pada suatu hari, ketika saya sedang membersihkan balai pertemuan tersebut, tiba-tiba ada orang yang mengetuk pintu. Tentu saja penampilan saya waktu itu tidak lebih dari seorang tukang kebun. Saya membuka pintu dan di situ berdiri seorang pemuda kira-kira berumur tujuh belas tahun, berwajah ceria dan tampan. Dengan senyuman ia mengucap salam dan berkata, "Nama saya Awiz, saya ikut dalam acara ini." Saya persilakan ia untuk duduk.

Setelah semuanya bersih dan kursi-kursi pun sudah tertata rapi, saya menulis tema ceramah dan nama pem-bicaranya di papan tulis.

Setelah shalat maghrib, pembicara dan hadirin berdatangan. Saya berdiri di atas mimbar dan mengucapkan terima kasih atas kedatangan mereka. Setelah itu saya mempersilakan pembicara untuk menyampaikan materinya.

Pertemuan telah usai dan dua penampilan saya yang berbeda menjadikan pemuda tadi bertanya-tanya dalam hati. Hari-hari pun terus berjalan dan pemuda itu masih terus aktif. Ia datang bersama teman-teman dekatnya hingga akhirnya ia dapat mengajak teman-temannya dalam perkumpulan olahraga untuk menjadi anggota Ikhwanul Muslimin.

Saya sudah menaruh simpati pada pemuda itu sejak pertama kali bertemu, tetapi saya tidak bisa mengung-kapkan perasaan ini karena masyarakat kita belum terbiasa dengan hal semacam itu. Masyarakat kita hanya mengenal bahwa kata "cinta" itu hanya layak untuk diucapkan oleh seorang laki-laki pada seorang wanita. Adapun jika kata itu diucapkan oleh seorang laki-laki kepada seorang laki-laki, itu adalah hal yang aneh.

Hari-hari itu pun terus berjalan dan perasaan terse-but terus menyiksa batin saya. Sampai pada akhirnya kami membaca sirah Rasulullah sehingga hati kami dapat menangkap cahayanya dan menghirup harum baunya. Dari Anas ra. bahwa ada seorang laki-laki berada di dekat Rasulullah saw., lalu ada seorang laki-laki lain lewat di depannya. Orang (yang berada di dekat Rasulullah) itu berkata, "Ya Rasul, sungguh saya mencintai orang itu." Rasulullah bertanya, "Apakah kamu sudah memberi-tahunya?" la berkata, "Belum." Rasulullah bersabda, "Bentahukan kepadanya." Kemudian ia mendekati orang itu dan berkata, "Sungguh aku mencintaimu karena Allah swt." Laki-laki itu menjawab, "Mudah-mudahan Allah — yang karena-Nya engkau mencintai aku— mencintaimu." Berkata Rasulullah saw.,

"Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia mencintai Usamah bin Zaid." (HR. Bukhari)

Dengan taujih nabawiyah ini hati saya menjadi tenteram. Sekarang saya mengetahui bahwa Islam tidak menutup pintu cinta dan kasih sayang, tetapi membersihkannya dari tradisi jahiliah agar menjadi taman yang indah, yaitu "cinta karena Allah". Begitulah, akhirnya kata-kata indah itu menghiasi hari-hari kami, baik melalui lisan maupun tulisan.

Pada tahun 1948 M. saya dipindahkan dan Iskandaria ke Asyuth. Suatu pagi, ketika saya berangkat ke tempat kerja, di tengah jalan saya bertemu dengan seorang pemuda berseragam sekolah menengah atas. Saya tertank dengan pemuda itu, lalu dengan dorongan nurani dan perasaan itu saya mengutarakan kepada ikhwah dengan harapan agar pemuda itu dapat diajak masuk ke dalam jamaah. Mereka semua tampak kaget dan berkata, "Pemuda itu dari keluarga kaya dan terhormat, bapaknya seorang tokoh di Asyuth ini." Saya menjawab, "Apakah hanya rakyat kecil saja yang berhak masuk ke dalam jamaah kita? Bukankan Rasulullah pernah berdoa, 'Ya Allah, muliakanlah Islam dengan satu di antara dua orang yang Engkau sukai: Umar bin Khathab atau Amr bin Hisyam?'" Mereka tertawa dan berkata, "Lantas bagaimana caranya?" Saya berkata, "Ini baru jawaban yang tepat. Tidak mudah bagi seseorang untuk melangkah kepada orang lain tanpa adanya suatu alasan. Oleh karena itu, harus direncanakan dengan matang dan melalui perantara yang lebih dekat dan segi tsaqafah dan umurnya."

Program ini berjalan selama enam bulan dan setelah itu pemuda yang kami maksud tadi sudah menjadi bagian dari kami. Inilah makna dari syiar: "dakwah adalah seni, bersabar dalam berdakwah adalah jihad".

Pada suatu hari kami berkunjung ke salah seorang tokoh Ikhwanul Muslimin. Ketika kami duduk di ruang tamu, datanglah anak laki-lakinya yang sedang duduk di bangku sekolah menengah atas dan mengucapkan salam. Tatkala mendekat kepada saya, saya memandangnya dengan tersenyum dan mengatakan kepadanya beberapa kalimat. Ketika ia keluar dan ruang tamu, bapaknya merasakan ada sesuatu yang telah terjadi. Lalu ia berkata kepada saya, "Wahai saudara Abbas, saya mohon ia jangan dimasukkan terlebih dahulu, tunggulah sampai la selesai dan bangku sekolah menengah atas." Saya berkata, "Ini adalah pertama kali saya melihatnya. Kami akan menunggu sampai la lulus dari sekolah menengah atas."

Akan tetapi, beberapa kalimat yang didengarnya pada perjumpaan itu menggugah perasaan hatinya. Beberapa hari kemudian anak itu datang kepada kami dengan membawa hati yang bersih dan semakin kuatlah hubungan persaudaraan antara kami.

Mush'ab bin Umair ra.

Pada dirinya terdapat kemampuan dan sifat dasar yang harus dimiliki oleh seorang da'i, ditambah lagi dengan wajahnya yang tampan dan penampilannya yang menarik. Ia adalah duta pertama yang diutus Rasulullah saw. kepada penduduk kota Madinah.

Tatkala sampai di Madinah, ia singgah di rumah As'ad bin Zurarah. Sementara itu ada dua orang yang bernama Sa'adz bin Mu'adz dan Usaid bin Hudhair, keduanya adalah pemimpm suku Bani Abdil Asyhal dan penganut kepercayaan nenek moyang mereka.

Tatkala mendengar berita tentang Mush'ab bin Umair ra., Sa'ad berkata kepada Usaid, "Pergilah, temui orang yang telah memasuki wilayah kita dan mengelabui masyarakat kita yang lemah itu. Usir keduanya dan jangan sekali-kali diperbolehkan mendatangi kaum kita. Kalau bukan karena keberadaan As'ad niscaya aku sudah pergi mendatangi mereka dan tidak menyuruhmu. Seperti yang kamu ketahui, ia (As'ad bin Zurarah) adalah anak bibiku."

Usaid mengambil tombaknya lalu pergi mendatangi keduanya. Tatkala As'ad mengetahui kedatangannya, ia berkata kepada Mush'ab, "Dia adalah seorang pemimpin suku dan telah mendatangimu, maka berlaku benarlah kepada Allah." Mush'ab berkata, "Jika ia mau duduk, maka saya akan berbicara kepadanya." Usaid masuk dan langsung mendampar (pada saat itu masih dalam posisi berdiri), "Apa maksud kalian datang kapada kami dan mempu orang-orang yang lemah? Tinggalkanlah kami, jika kalian masih menyayangi nyawa kalian!" Setelah selesai, Mush'ab berkata dengan sangat halus, : 'Bagaimana jika Anda duduk terlebih dahulu dan mendengarkan perkataan kami? Jika Anda suka maka ambilah, dan jika Anda tidak suka maka tinggalkanlah," Usaid ?erkata, "Anda berlaku adil." Kemudian ia meletakkan tombaknya dan duduk. Mush'ab lalu memberitahukan dan menjelaskan kepadanya tentang Islam dan membacakan ayat-ayat Al-Qur'an.

Keduanya mencentakan, "Demi Allah, kami sudah nelihat pada wajahnya pancaran cahaya Islam, sebelum ia berkata dengan wajah yang lebih ceria."

Kemudian Usaid berkata, "Alangkah indahnya ajaran-ajaran ini. Apa yang kalian perbuat tatkala hendak memasuki agama ini?" Keduanya menjawab, "Mandilah dan bersihkan kedua pakaianmu. Kemudian ucapkanlah syahadat dan setelah itu dirikanlah shalat."

Usaid kemudian bangkit untuk mandi dan membersihkan pakaiannya, lalu mengucap syahadat dan dilanjutkan dengan shalat dua rakaat. Kemudian ia berkata, "Ada seorang laki-laki, jika ia masuk Islam maka seluruh kaumnya akan mengikutinya. Saya akan menyuruhnya menghadap kalian. Orang itu bernama Sa'ad bin Mu'adz." Usaid mengambil tombaknya dan beranjak pergi menemui Sa'ad dan kaumnya. Ketika menyaksikan kehadiran Usaid yang telah berubah dan saat Usaid sudah berada di hadapan mereka, Sa'ad bertanya, "Wahai Usaid, apa yang telah kamu perbuat?" Usaid berkata, "Saya telah bertemu dan berbicara dengan kedua orang itu dan ternyata mereka tidak membahayakan. Saya juga telah mencegah mereka. Lalu mereka berkata, 'Kami berbuat apa yang Anda sukai.' Saya telah mendengar berita bahwa Bani Haritsah telah berangkat menuju rumah As'ad bin Zurarah. untuk membunuhnya dengan tujuan menghinakan dirimu, karena mereka tahu bahwa As'ad adalah anak bibimu." Dengan marah Sa'ad mengambil tombak dan berkata, "Wahai Usaid, Demi Tuhan, kamu belum berbuat apa-apa." Kemudian ia keluar menuju rumah As'ad bin Zurarah. Dan pada akhirnya apa yang terjadi pada Usaid terjadi pula pada Sa'ad bin Mu'adz.

Demikianlah tatkala Usaid datang dengan marah, Mush'ab justru menyambutnya dengan senyum dan ketenangan. Sikap inilah yang dapat melunakkan hati sekeras apa pun. Mush'ab adalah da'i yang membawa risalah yang amat agung dan suci. Oleh karena itu, dia sangat mengerti akan sikap yang tepat pada saat yang tepat pula. la tidak terpengaruh dengan kemarahan Usaid, tetapi justru sebaliknya, ia berperilaku dengan akhlak yang mulia.

Kemudian, Mush'ab berkata dengan perkataan yang lemah lembut dan menggugah perasaan lawan bicaranya untuk kembali kepada fitrah dan keadilan, "Bagaimana jika Anda duduk dan mendengarkan perkataan saya? Jika Anda menyukai perkataan saya, maka ambillah dan jika Anda tidak menyukai, maka kami akan menjauhkan apa yang Anda benci itu dari diri Anda." Memang, tatkala menyampaikan dakwahnya, seorang da'i akan melihat dampak pada wajah mad'unya.

Setelah masuk Islam, ia (Usaid bin Hudhair) berubah dari mad'u menjadi seorang da'i. Lalu ia mencari cara agar Sa'ad mau menemui dan mau mendengarkan perkataan Mush'ab ra. seperti yang telah ia alami.

"
Tidak sempurna iman seseorang di antara kamu hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri."

Dikatakan juga bahwa belum sempurna juga iman seseorang sebelum ia merasa bahagia jika hal yang ia sukai itu terjadi juga pada saudaranya. Akhirnya Sa'ad pun masuk Islam disertai katimnya, Bani Abdul Asyhal.

As'ad berkata kepada Mush'ab ra., tatkala melihat kedatangan Usaid, "Hai Mush'ab, ia adalah pemimpin suku maka berlaku jujurlah kepada Allah swt." Sungguh merupakan sebuah perkataan yang akan tetap langgeng, sebuah senjata dan sumber kekuatan bagi seorang da'i, "Berlaku jujurlah kepada Allah swt." Seorang da'i harus berlaku ikhlas hanya mencari ridha Allah swt., tidak untuk tujuan-tujuan selain Allah. Dengan ikhlas ltulah Allah akan berkenan membukakan pintu hidayah-Nya. ltulah makna syiar kita: "Allah adalah tujuan kami".

Kisah yang terjadi pada Mush'ab ra. bersama Usaid dan Sa'ad memberikan banyak pelajaran yang berharga. Semua ini terjadi semata-mata atas hidayah (petunjuk) Allah 'Azzawajalla.